Fikih Shalat Gerhana
Fikih Shalat Gerhana merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 05 Rajab 1446 H / 05 Januari 2025 M.
Kajian Tentang Fikih Shalat Gerhana
Hukum Shalat Gerhana
Hukum shalat gerhana matahari (الكسوف) menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkadah. Namun, sebagian ulama, seperti Abu Hanifah, Siddiq Hasan Khan, Syaikh Albani, dan Asy-Syaukani, berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا
“Apabila kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan bulan), maka shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perintah dalam hadits tersebut dianggap bersifat wajib karena hukum asal dari perintah adalah kewajiban.
Adapun mengenai gerhana bulan (الخسوف), terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama mengatakan hukumnya sunnah. Namun, sebagian ulama seperti Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjamaah, melainkan sendiri-sendiri. Mereka beralasan adanya kesulitan (masyaqqah), terutama jika gerhana terjadi di malam hari, apalagi di tengah malam.
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan bulan), maka shalatlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Waktu Shalat Gerhana
Waktu shalat gerhana dimulai sejak awal gerhana hingga selesai. Shalat gerhana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat panjang. Pada rakaat pertama, beliau membaca Surah Al-Baqarah atau yang setara panjangnya.
Apabila setelah shalat gerhana selesai masih terjadi gerhana, maka tidak disyariatkan untuk mengulangi shalat. Namun, disarankan untuk memperbanyak ibadah lain seperti takbir, tahmid, sedekah, dan sebagainya.
Shalat gerhana ini disyariatkan saat seseorang melihat gerhana. Jika gerhana tidak terlihat, seperti terhalang oleh awan, maka tidak disyariatkan melaksanakan shalat gerhana. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjelaskan bahwa hal ini karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila kalian melihat keduanya” Perintah ini menunjukkan bahwa syariatnya shalat gerhana bergantung pada penglihatan. Jika tidak terlihat, misalnya karena tertutup awan, maka shalat tidak disyariatkan.
Apa yang Dilakukan Saat Gerhana?
Ketika melihat gerhana, terdapat beberapa amalan yang dianjurkan:
Pertama, memperbanyak dzikir, istigfar, takbir, dan sedekah.Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
فَإِذَا رَأَيْتُمۡ ذَٰلِكَ فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ وَكَبِّرُواْ وَصَلُّواْ وَتَصَدَّقُواْ
“Apabila kalian melihat gerhana, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, segera pergi ke masjid untuk shalat gerhana. Shalat Kusuf hukumnya sunnah muakkadah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya fardhu kifayah.
Para wanita juga disyariatkan untuk pergi ke masjid dan mengikuti shalat gerhana. Hal ini dicontohkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ketika melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat melaksanakan shalat gerhana, beliau segera ikut shalat di masjid.
Apakah Ada Azan untuk Shalat Gerhana?
Shalat gerhana tidak diawali dengan adzan maupun iqamah. Dalam hadits Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma disebutkan:
لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ علَى عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نُودِيَ إنَّ الصَّلاةَ جامِعَةٌ.
“Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka dipanggillah: ‘Ash-shalaatu jaami’ah’ (shalat berjamaah).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, panggilannya cukup dengan ucapan “Ash-shalaatu jaami’ah”. Ini khusus untuk shalat gerhana, tanpa adzan maupun iqamah.
Adapun kebiasaan sebagian orang yang mengucapkan “Ash-shalaatu jaami’ah” saat shalat Idulfitri atau Iduladha, hal tersebut tidak memiliki dasar dalam syariat.
Apakah Disunahkan Khutbah Setelah Shalat Gerhana?
Sebagian ulama, seperti Mazhab Syafi’iyah, berpendapat bahwa khutbah setelah shalat gerhana disunnahkan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَىٰ عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَٰلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا»
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai shalat gerhana, beliau berdiri dan memberikan khutbah kepada manusia. Beliau memuji dan menyanjung Allah, lalu bersabda: ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah ayat-ayat yang menunjukkan kebesaran Allah. Tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Apabila kalian melihat gerhana, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.’” (HR. Bukhari)
Namun, jumhur ulama, termasuk Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, berpendapat bahwa khutbah setelah shalat gerhana tidak disyariatkan. Menurut mereka, khutbah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat itu bertujuan untuk mengingatkan keyakinan keliru sebagian orang bahwa gerhana matahari terjadi karena wafatnya Ibrahim, putra Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam segera meluruskan pemahaman tersebut dengan menjelaskan bahwa gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kehidupan seseorang, tetapi sebagai tanda kekuasaan Allah.
Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam Mazhab Syafi’iyah adalah bahwa khutbah setelah shalat gerhana disyariatkan. Alasannya, jika hanya untuk mengingatkan tentang satu hal tertentu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentu tidak akan menyampaikan hal lain. Namun, dalam khutbah tersebut, beliau juga menyampaikan perintah untuk bertakbir, bersedekah, dan sebagainya. Wallahu a‘lam.
Tata Cara Shalat Gerhana
Tata cara shalat gerhana yang shahih adalah melaksanakannya dalam dua rakaat, dengan setiap rakaat terdiri atas dua kali rukuk. Berikut rinciannya:
- Rakaat Pertama:
- Membaca Surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surah panjang, seperti Surah Al-Baqarah.
- Rukuk yang pertama.
- I’tidal, dengan membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’ Allahu liman hamidah).
- Membaca lagi Surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan surah yang panjang, tetapi lebih pendek daripada yang pertama.
- Rukuk yang kedua.
- I’tidal, dengan membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’ Allahu liman hamidah), lalu membaca رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ (Rabbana lakal hamdu).
- Sujud dua kali, dengan duduk di antara dua sujud.
- Rakaat Kedua:
- Berdiri, membaca Surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan surah yang panjang, tetapi lebih pendek daripada surah pada rakaat pertama.
- Rukuk yang pertama.
- I’tidal, dengan membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’ Allahu liman hamidah).
- Membaca lagi Surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan surah yang panjang, tetapi lebih pendek daripada surah sebelumnya.
- Rukuk yang kedua.
- I’tidal, dengan membaca سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Sami’ Allahu liman hamidah), lalu membaca رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ (Rabbana lakal hamdu).
- Sujud dua kali, dengan duduk di antara dua sujud.
- Penutup:
- Setelah sujud kedua pada rakaat kedua, duduk tahiyat, kemudian salam.
Itulah tata cara shalat gerhana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Apakah Bacaan Shalat Gerhana Dikeraskan?
Terkait pertanyaan apakah bacaan dalam shalat gerhana disyariatkan untuk dikeraskan atau tidak, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Yang sunnah adalah dikeraskan bacaannya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan mazhab Hanbali menyatakan bahwa bacaan shalat gerhana disyariatkan untuk dikeraskan. Pendapat ini didukung oleh hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
جَهَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, jumhur ulama, termasuk mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanafi, berpendapat bahwa bacaan dalam shalat gerhana matahari tidak disyariatkan untuk dikeraskan.
Ada juga perbedaan pendapat mengenai apakah shalat gerhana diqiyaskan pada bencana lainnya, seperti gempa bumi atau angin kencang. Sebagian ulama, termasuk mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, berpendapat bahwa disyariatkan shalat setiap kali terjadi bencana besar, baik itu gerhana, gempa bumi, atau angin kencang.
Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa shalat khusus hanya untuk gerhana matahari dan bulan, dan tidak berlaku untuk bencana lainnya.
Hadits Tentang Shalat Gerhana
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata:
“Terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri untuk shalat. Beliau memanjangkan berdirinya dengan sangat panjang, kemudian rukuk dengan rukuk yang sangat panjang. Beliau mengangkat kepala dan berdiri lagi, namun lebih pendek dari berdiri yang pertama. Kemudian beliau rukuk lagi dan memanjangkan rukuknya sangat panjang, tetapi rukuk ini lebih pendek dari rukuk yang pertama. Setelah itu, beliau sujud.
Beliau berdiri lagi di rakaat kedua, dengan berdiri yang panjang, namun lebih pendek dari berdiri yang pertama. Kemudian beliau rukuk, memanjangkan rukuk, tetapi lebih pendek dari rukuk sebelumnya. Setelah itu, beliau berdiri lagi dengan berdiri yang panjang, namun lebih pendek dari sebelumnya. Kemudian beliau rukuk lagi, memanjangkan rukuknya, tetapi lebih pendek dari rukuk sebelumnya. Setelah itu, beliau sujud.
Setelah selesai shalat, matahari sudah terlihat kembali. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkhutbah kepada manusia. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ مِنْ آيَاتِ اللهِ وَإِنَّهُمَا لَا يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَكَبِّرُوا وَادْعُوا اللهَ وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena kehidupan seseorang. Jika kalian melihat gerhana, bertakbirlah, berdoalah kepada Allah, shalatlah, dan bersedekahlah.’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ إِنْ مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ
“Wahai umat Muhammad, sesungguhnya Allah lah yang paling cemburu ketika melihat hamba laki-laki atau wanitaNya berzina.”
Beliau menambahkan:
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا وَلَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
“Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan lebih banyak menangis dan lebih sedikit tertawa. Bukankah aku telah menyampaikannya?” (HR. Muslim)
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54864-fikih-shalat-gerhana/